KI ( Analisis Kritis Islam Nusantara )



ANALISIS KRITIS ISLAM NUSANTARA

Wilda Ika Suwandari
Jurusan: Ilmu Adm.Niaga, Fakultas: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UniversitasYudharta
Kabunan-Kepulungan-Gempol
67155

Abstrak
Masalah dalam penelitian tentang analisis islam nusantara yaitu gabungan nilai islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di tanah air. Ini bukan barang baru di Indonesia, “kata Ketum PBNU Prof  KH Said Aqil Siraj” sebagaimana diberitahukan republika, beliau mengatakan, konsep Islam Nusantara menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia. Seringkali konsep Islam nusantara dinisbatkan kepada Walisongo. Konon menurut catatan sejarah yang diyakini kalangan NU. Para wali tersebut melakukan Islamisasi dengan pendekatan budaya. Tradisi slametan, kupatan dan sejenisnya merupakan kreasi para wali. Khususnya sunan berdarah jawa seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Terkait hal itu, saya berpandangan tradisi ini sifatnya temporal, bukan sakral. Akan tetapi hingga kini pendekatan untuk mengislamkan rang Hindu kala itu untuk era sekarang tetapi jadi hal yang sakral. Seakan-akan wajib, bahasa kasarnya menjadi rukun islam ke-6. Nusantara ini luas, bukan hanya bicara jawa saja, masih ada sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali hingga Irian Jaya. Baik saya maupun pembaca akan paham bahwa konsep Islam Nusantara yang diusung kalangan NU sifatnya jawa sentris.     
Kata kunci : Islam Stakeholders Archipelago, The Basic Character Of The Archipelago Islam, Islam Archipelago Meaning Of Existence, The History Of Islamic Tradition Archipelago, Understanding The Traditions and Ceremonies.

  BAB  I
 PENDAHULUAN

Sejarah Islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena disamping menjadi salah satu faktor pemersatu bangsa juga memberikan nuansa baru dalam keberislamannya di negara-negara Islam lain, terutama di Timur Tengah. Islam di Indonesia ternyata mampu berinteraksi dengan budaya lokal, seperti bentuk masjid dan tata cara yang mengiringi ritual keagamaan. Masjid di Demak adalah perpaduan dari budaya lokal dengan masjid, begitu pula upacara sekatenan di Yogyakarta setiap bulan Maulud adalah bagian yang tidak terpisahkan dari budaya lokal yang terpadu dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.Kalau diteliti lebih jauh banyak sekali keunikan dalam keberislaman di Indonesia. Oleh Azyumardi Azra fenomena  tersebut  dikatakan  sebagai  bentuk  akomodasi  Islam di Indonesia. Dia membagi Islam dalam konteks tradisi besar dan tradisi kecil.Tradisi besar adalah yang mengandung ajaran-ajaran pokok Islam, seperti syahadat, shalat, dan puasa.Disamping  tradisi besar itu, terdapat tradisi kecil yang mengiringinya, seperti membawa obor ketika malam-malam ganjil setelah tanggal 20 Ramadhan untuk mencari Lailatul Qadar.Dinamika inilah yang terjadi di Indonesia, sehingga warna keislaman lebih bervariasi dibandingkan ditempat asalnya.

Ketika Islam datang, sebenarnya kepulauan Nusantara sudah mempunyai peradaban yang bersumber kebudayaan asli pengaruh dari peradaban Hindu-Budaha dari India, yang penyebaran pengaruhnya tidak merata.Di Jawa telah mendalam, di Sumatera merupakan lapisan tipis, sedang dipulau-pulau lain belum terjadi.Walaupun demikikan, Islam dapat cepat menyebar. Hal itu disebabbkan Islam yang dibawa oleh kaum pedagang maupun para da’i dan ulama’, bagaimanapun keislaman para da’i dan ulama’ masa awal, mereka semua menyiarkan suatu rangkaian ajaran dan cara serta gaya hidup yang secara kualitatif lebih maju dari pada peradaban yang ada. Dalam bidang perenungan teologi monoteisme dibandingkan teologi politeisme, kehidupan masyarakat tanpa kasta, juga dalam dalam sufisme Islam lebih maju dan lebih mendasar dari pada mistik pribumi yang dipengaruhi mistik Hindu-Budha.Demikian pula dalam pengembangan intelektual dan keseniaan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

   Kedatangan dan Penyebaran Islam di Indonesia ada teori yang  berpendapat baru abad ke-13 M. yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan lainnya, dan yang berpendapat sudah sejak abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi yann antara lain dikemukakan W.P. Groeneveldt, Syeikh Muhammad Naguib Al-Attas, S.Q. Fatimi,  Hamka, Uka Tjandrasasmita dll. Masing-masing golongan membuat argumentasinya.Tetapi bagaimanapun kami berpendapat yang benar abad ke-1 H. atau abad ke-7 M. dan langsung dari Arabia (Kami telah membicarakan kelemahan-kelemahan teori abad ke-13 M. dalam Sejarah Nasional Indonesia III, sejak tahun 1975 dan seterusnya serta dalam berbagai tulisan lainnya. Kedatangan Islam awalnya melalui perdagangan Internasional dan penyebaran atau penyampaiannya  secara lebih mendalam  oleh para da’i dan para wali (Di Jawa Wali Sanga) yang berasal dari luar atau dari Indonesia sendiri. Waktu kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia melalui beberapa fase dan yang abad ke-7 M. baru di bagian Barat Indonesia saja, Penyebaran Islam di Indonesia bahkan di wilayah Asia Tenggara berjalan dengan damai sesuai dengan prinsip-prinsip konsep Islam. Proses Islamisasi melalui berbagai jalur : Perdagangan, Pernikahan, Memasuki  birokrasi, Sufisme, Pendidikan (Pesantren), Kesenian.


BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan islam dan nasionalisme yaitu Bhinneka Tunggal Ika berarti berbeda-beda tetapi satu jua. Secara mendalam Bhinneka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia sebagai Negara yang multikultural, dimana terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yaitu sebangsa dan setanah air. Dipersatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain sebagainya.

Namun atas realitas bangsa yang multikultural ini pun, masih ada beberapa kelompok yang menentang bila Bhinneka Tunggal Ika menjadi prinsip dasar Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Sekali lagi meraka menganggap itu tidak islami. Padahal keanekaragaman di muka bumi ini merupakan salah satu bukti kekuasaan dan kebesaran Allah SWT, dan itu semua sudah menjadi ketetapannya, serta ada hikmanya.

Sejauh ini, sedikitnya ada empat teori yang dihubungkan dengan proses islamisasi dan perkembangan islam di Indonesia: (1) islam disiarkan dari india; (2) islam disiarkan dari arab; (3) islam disiarkan dari Persia; (4) islam disiarkan dari cina. Teori yang menyatakan islam berasal dari india terutama dari wilayah Gujurat, Malabar, Coromandel, Bengal, didasarkan pada asumsi kesamaan mazhab: Syafi’iy, kesamaan batu nisan, kemiripan sejumlah tradisi dan arsitektur india dengan Nusantara. Teori ini didukung oleh Prof. Pijnappel, C. Snouck Hurgronje, S.Q Fatimy, J.P Moquette, RA. Kern, R.O Winstedt, J. Gonda, dan B.J.O. Schrieke.

Teori yang menyatakan islam berasal dari arab langsung berdasar kesamaan mazhab ynag dianut di Mesir dan Hadramaut atau Yaman dengan mazhab yang dianut di Indonesia: Mazhab Syai’iy. Pendukung teori arab ini adalah Crawfurd, Keyzer, P.J. Veth, dan Sayed Muhammad Naquib al-Attas. Sedangkan teori yang menyatakan islam berasal dari Persia mendasarkan pada asumsi adanya kesamaan pada sejumlah tradisi keagamaan antara Persia dengan Indonesia seperti peringatan Asyura atau 10 Muharram, sistem mengeja huruh arab dalam pengajaran al-Qur’an khas Persia untuk menyebut tanda bunyi harakat seperti jabar (vokal “a” atau fathah), jer atau zher (vokal “i” atau kasrah), pes atau fyes (vokal “u” atau dhummah), huruf sin tanpa gigi, pemulian ahlul bait dari keluarga Ali bin Abi Thalib, dan sebagainya. Teori ini didukung oleh P.A. Hoesien Djajadinigrat, Robert N. Bellah, Prof. A. Hasjmi, Prof. Aboe Bakar Atjeh dan Ph.S. Van Ronkel. Sementara itu, teori yang menyatakan bahwa islam berasal dari cina mendasarkan pada asumsi adanya unsur kebudayaan cina dalam sejumlah unsur kebudayaan islam di Indonesia, terutama berdasar sumber kronik dari klenteng sampokong di semarang. Teori ini didukung oleh Prof. Slamet Muljana. Sejarawan H.J. De Graff telah menyunting kronik cina yang diklaim dari hasil rampasan Residen Poortman di Semarang yang memperlihatkan pengaruh orang-orang cina dalam pengembangan islam di Indonesia.

BAB 1V

PEMBAHASAN

A.     Kritis Terhadap Islam Nusantara

Analisis kritis islam nusantara adalah Islam Nusantara yang belum jelas ini justru bisa membuat orang-orang yang bingung berpaling ke radikalisme, karena bisa jadi radikalisme lebih jelas konsepnya.” – Begitulah kata Mas Binhad Nurohmat dalam akun facebook-nya.
Islam nusantara menurut ketum PBNU Prof KH Said Aqil Siraj adalah “Gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air”. Ini bukan barang baru di Indonesia. Sebagaimana diberitakan Republika, beliau mengatakan, konsep Islam Nusantara menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah. Seringkali konsep Islam nusantara dinisbatkan kepada Walisongo. Konon menurut catatan sejarah yang diyakini kalangan NU termasuk dalam hal ini ayah saya, para wali tersebut melakukan Islamisasi dengan pendekatan budaya. Tradisi Slametan, Kupatan dan sejenisnya merupakan kreasi para wali, khususnya Sunan berdarah Jawa seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Sejarah Islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena disamping menjadi salah satu faktor pemersatu bangsa juga memberikan nuansa baru dalam keberislamannya di negara-negara Islam lain, terutama di Timur Tengah. Islam di Indonesia ternyata mampu berinteraksi dengan budaya lokal, seperti bentuk masjid dan tata cara yang mengiringi ritual keagamaan. Masjid di Demak adalah perpaduan dari budaya lokal dengan masjid, begitu pula upacara sekatenan di Yogyakarta setiap bulan Maulud adalah bagian yang tidak terpisahkan dari budaya lokal yang terpadu dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.Kalau diteliti lebih jauh banyak sekali keunikan dalam keberislaman di Indonesia. Oleh Azyumardi Azra fenomena  tersebut  dikatakan  sebagai  bentuk  akomodasi  Islam di Indonesia. Dia membagi Islam dalam konteks tradisi besar dan tradisi kecil.Tradisi besar adalah yang mengandung ajaran-ajaran pokok Islam, seperti syahadat, shalat, dan puasa.Disamping  tradisi besar itu, terdapat tradisi kecil yang mengiringinya, seperti membawa obor ketika malam-malam ganjil setelah tanggal 20 Ramadhan untuk mencari Lailatul Qadar.Dinamika inilah yang terjadi di Indonesia, sehingga warna keislaman lebih bervariasi dibandingkan ditempat asalnya.
Ketika Islam datang, sebenarnya kepulauan Nusantara sudah mempunyai peradaban yang bersumber kebudayaan asli pengaruh dari peradaban Hindu-Budaha dari India, yang penyebaran pengaruhnya tidak merata.Di Jawa telah mendalam, di Sumatera merupakan lapisan tipis, sedang dipulau-pulau lain belum terjadi.Walaupun demikikan, Islam dapat cepat menyebar. Hal itu disebabbkan Islam yang dibawa oleh kaum pedagang maupun para da’i dan ulama’, bagaimanapun keislaman para da’i dan ulama’ masa awal, mereka semua menyiarkan suatu rangkaian ajaran dan cara serta gaya hidup yang secara kualitatif lebih maju dari pada peradaban yang ada. Dalam bidang perenungan teologi monoteisme dibandingkan teologi politeisme, kehidupan masyarakat tanpa kasta, juga dalam dalam sufisme Islam lebih maju dan lebih mendasar dari pada mistik pribumi yang dipengaruhi mistik Hindu-Budha.Demikian pula dalam pengembangan intelektual dan keseniaan.


B.     Perkembangan Islam di Nusantara

Islam di Indonesia (Asia Tenggara) meruopakansalah satu dari tujuh cabang peradaban Islam (sesudah hancurnya persatuan peadaban islam yang berpusat di Bagdad Tahun 1258 M). Ketujuh cabang tersebut secra lengkap adlahperadaban islam arab, islam persi, islam turki, islam afrika hitam, islam anak benua india, islam arab melayu, dan islam cina.
Konversi massal masyarakat nusantara kepada islam pada mas aperdagangan terjadi karena beberapa sebab sebgai berikut:
a.       Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan islam.
b.      Asosiasi islam dengan kekayaan.
c.       Kejayaan militer.
d.      Memperkenalkan tulisan.
e.       Mengajarkan hafalan.
f.       Kepandaian dalam penyembahan.
g.       Pengajaran tentang moral.
Melalui sebab-sebab itu islam cepat mendapatkan pengikut yang banyak. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa [edagang Muslim asal arab,persi india dipekirakan telah sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 (ke-1 H), ketika islam di Timur tengah mulai berkembang ke luar dari Jazirah arab.

1.      Pemangku islam nusantara

Tradisi keagamaan dan keilmuan Nusantara itu dikembangkan di pesantren yang ada di Nusantara. Melalui jaringan keulamaan dan kepesantrenan itulah tradisi Islam Nusantara dikembangkan. Langkah ini membuat seluruh masyarakat Nusantara menjadi pendukung tradisi Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang bermahzab empat. Kalangan ini tidak ekslusif dan pasif. Terbukti ketika Portugis, Belanda dan Inggris datang menjajah kawasan ini dengan memaksakan sistem pendidikan Eropa dengan merongrong pendidikan lokal, maka kalangan ulama pesantren dengan tegas mempertahankan sistem pendidikan mereka sendiri. Pesantren bersikap non kooperatif, menolak segala bentuk kerja sama dengan kolonial untuk melegitimasi penjajahannya. Dari pendidikan pesantren itulah jaringan keilmuan Nusantara berkembang semakin intensif, sehingga bisa mengatasi segala tekanan kolonial, bahkan akhirnya bisa menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan.
2.      Karakter Dasar Islam Nusantara
Islam Nusantara disebut sebagai sesuatu yang unik karena memiliki karakters yang khas yang membedakan islam di daerah lain, karena perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang geografis dan latar belakang budaya yang dipijaknya. Selain itu, Islam yang datang kesini juga memiliki strategi dan kesiapan tersendiri. PertamaIslam datangdengan mempertimbangkan tradisi, tidak dilawan tetapi mencoba diapresiasi kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apa pun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang memilih tradisi yang sudah usang, sehingga Islam diterima sebagai tradisi dan diterima sebagai agama. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga prang tidak bisa meninggalkan islam dalam kehidupan mereka.
3.      Makna keberadaan Islam Nusantara
Hadirnya Islam Nusantara ini memiliki pengaruh besar dan mendalam terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Ditandai antara lain pertama dengan kuatnys hubungan agama dengan tradisi dan bumi yang dipijak (tanah air) maka sejak awal islam ini gigih menolak kehadiran imperialisme atau penjajahan bangsa asing. Bahkan pesantren dijadikan basis perlawanan terhadap penjajahan Barat. Kedua, sejak awal Islam Nusantara turut aktif dalam membela kemerdakaan, mendirikan negara termasuk ikut menyusun konstitusi yang bersifat nasional dan tetap berpijak pada agama dan tradisi sehingga lahirlah Pancasila sebagai konsesus bersama menjelang bangsa ini merdeka. Ketiga, dengan kecintaannya pada tradisi dan tanah air, Islam terbukti dalam sejarah tidak pernah memberontak terhadap pemerintahan yang sah, karena pemberontakan ini dianggap pengkhianatan terhadap negara yang telah dibangun bersama.
4.      Sejarah tradisi islam nusantara
Masyarakat Indonesia sebelum kedatangan Islam ada yang sudah menganut agama Hindu Budha maupun menganut kepercayaan adat setempat, Islam harus menyesuaikan diri dengan budaya lokal maupun kepercayaan yang sudah dianut daerah tersebut.Selanjutnya terjadi proses akulturasi (pencampuran budaya). Prose ini menghasilkan budaya baru yaitu perpaduan antara budaya setempat dengan budaya Islam. Setiap wilayah di Indonesia mempunyai tradisi yang berbeda, oleh karena itu proses akulturasi budaya Islam dengan budaya setempat di setiap daerah terdapat perbedaan.Kemunculan seni tradisi Islam baik di Jawa maupun di Luar Jawa (dengan berbagai nama dan istilahnya) tentu merupakan ekspresi keberagamaan (religion) masyarakat yang bersifat local. Sehingga jenis dan macamnya sangat beragam. Namun yang pasti sentuhan budaya local dengan agama Islam yang berlangsung telah melahirkan sebuah bentuk seni baru yang berfungsi baik sebagai ekspresi keagamaan maupun ekspresi budaya. Apapun nama dan tujuannya kesenian tradisi Islam merupakan bagian penting dalam penyebaran Islam di Indonesia, dan mungkin bahkan di dunia. Berkat kearifan tokoh-tokoh penyebar Islam dalam mengelola percampuran antara syareat Islam dengan budaya local, maka banyak dihasilkan sebuah karya seni yang indah dan merupakan alat sosialisasi yang hebat serta metode dakwah yang paling efektif.
5.      Pengertian tardisi dan upacara adat
Banyak generasi muda yang beranggapan bahwa adat itu adalah kebiasaan alam dan sangnt kuno. Banyk pula yang mengngap adat itu adalah tradisi yang di alih bahasakan menjadi adat atupun sebaliknya. Pengertian Adat itu pada dasar nya adalah:”Ketentuan yang mengatur tingkah angota masyarakat dalam segala aspek kehidupan manusia.”oleh sebab itu adat merupajan sustu hukum yang tidak tertulis, namun merupakan sumber hukum yang tercermin dalam adat yang bersendikan syara. Adat mengatur seluruh aspek kehidupan anggota masyarakat maka ketentuan-ketentuan adat secara otonatis juga mengatur nasalah politik atau pemerintah, Etika Budaya, dan sebagainya.

C.     Pendiri Dan Pengasuh Pondok Pesantren Ngalah Tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Negara Indonesia terdiri dari berbagai pulau, suku, seni dan budaya, bahasa, dan agama yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut merupakan satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan pancasila dan UUD 1945. Namun ada sebagian kelompok atau golongan yang menginginkan dan melakukan upaya untuk merubah dasar Negara Indonesia yang kita cintai ini dengan bentuk Negara Islam.
Adanya upaya dari golongan atau kelompok yang berkeinginan untuk merubah dasar Negara Indonesia tersebut, kami secara tegas mengambil sikap untuk tidak setuju kalau Negara Indonesia ini dijadikan Negara yang berbentuk Negara Islam. Dengan alasan:
1.      Pancasila itu sudah sesuai dengan al-Qur’an.
2.      Rasulullah Saw. Sendiri tidak pernah membentuk sistem Negara islam
3.      Golongan atau kelompok tersebut dinilai:
a.       Tidak meghargai bahkan mengkhianati para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia.
b.      Berusaha memecah belah rakyat Indonesia dengan merusak tatanan atau sistem Negara Indonesia bahkan berusaha menghancurkan bangunan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
c.       Akan terjadi pergeseran tatanan nilai-nilai tradisi atau kultur islam NU.

D.     Pancasila Sebagai Asas Yayasan Darut Taqwa Selama-Lamanya.
Dalam setiap momen pelepasan santri/murid saat wisuda baik pada lembaga pendidikan formal (MI, MTs, MA-SMK, SMA, dan Perguruan Tinggi) dan non formal (Madrasah Diniyah: Haflah Akhirussanah), Kiai Sholeh selalu mewariskan kepada wisudawan-wisudawati agar tetap berpegang teguh kepada pancasila sampai akhir hayatnya nanti. Karena pancasila merupakan warisan leluhur kita, yakni pendiri bangsa, dan telah ditetapkan sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk dijadikan pedoman bagi setiap warga negaranya dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi pertiwi ini. Untuk itu Darut Taqwa sebagai Yayasan Pendidikan yang terletak di dusun pandean desa sengonagung purwosari pasuruan akan selalu berwawasan rahmatan lil ‘alamin dan berasaskan pancasila untuk selama-lamanya.
E.     Nilai-Nilai dan Tradisi Keulamaan Nusantara
Sekalipun perubahan masyarakat yang bercirikan komunitas lama pengaruh Kapitayan dan Hindu-Budha menjadi masyarakat muslim telah terjadi di sepanjang pesisir utara jawa, terutama disekitar Demak Bintara, dalam sejumlah aspek yang berkaitan dengan pola-pola dan struktur masyarakat lama ternyata tidak cukup signifikan mengalami perubahan yang revolusioner. Maksudnya, meski masyarakat pesisir utara jawa sudah muslim dan dipimpin oleh penguasa-penguasa muslim, namun struktur masyarakat yang bercocok hindu-buddhis yang terstratifikasi dalam catur warna dan kasta ternyata tidak mengalami perubahan revolusioner menjadi masyarakat muslim yang lazimnya egaliter. Bahkan, dalam proses perubahan hokum positif, tradisi keagamaan, sastra, seni budaya, dan sistem pendidikan yang dianut masyarakat lama tidak mengalami perubahan yang revolusioner.
Proses perubahan dalam struktur sosial masyarakat  Majapahit Hindu-Buddhis yang menempatkan kalangan rohaniwan-keagamaan pada kedudukan tertinggi menjadi masyarakat muslim di pesisir utara jawa, jejak-jejaknya tersebar dalam berbagai cerita mitos dan legenda yang berkaitan dengan “Daya Sakti, Tu-Ah, Tu-Lah, Karomah, Ma’unah” yang dilekatkan pada para tokoh Wali Songo, pusaka-pusaka, dan murid-muridnya yang acapkali dikisahkan sangat fantastik. Ditilik dari konteks keyakinan pada “daya sakti” yang merupakan warisan ajaran kapitayan itu, dapat diketahui bagaimana proses teradinya pemuliaan dan pengeramatan terhadap makam-makam tokoh Wali Songo yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara dari masa lampau sampai saat sekarang ini. Bahkan, tegaknya kekuasaan-kekuasaan politis islam seperti Demak, Giri, Jipang, Pajang, Mataram, Cirebon, dan Banten pada akhir abad ke-15 dan sepanjang abad ke-16 selalu dihubungkan dengan “perlindungan rohani” yang dikaitkan dengan tokoh-tokoh wali songo seperti Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, beserta pusaka-pusaka bertuah yang diyakini sampai saat sekarang.
Demikianlah, tradisi keulamaan di nusantara terbentuk dengan cara yang sangat khas terpengaruh kapitayan, yang menempatkan sosok ulama bukan sekedar sebagai orang-orang yang berpengetahuan agama dan orang-orang berilmu agama, melainkan juga sebagai sosok rohaniawan yang memiliki kemampuan adi duniawi yang ditandai “daya sakti”, karomah, atau maunah yang bisa mendatangkan berkah bagi orang-orang sekitar yang taat dan memuliakannya serta sebaliknya akan mendatangkan laknat dan kutukan bagi orang-orang yang merendahkannya.
F.      Pesantren hasil asimilasi pendidikan budaya hindhu-buddha
Salah satu proses islamisasi melalui dakwah islam yang dilakukan para penyebar islam melalui pengambilalihan sistem pendidikan local berciri hindhu-buddha dan kapitayan seperti dukuh,asrama, padepokan menjadi lembaga pendidikan islam yang disebut “pondok pesantren”, tercatat sebagai hasil dakwah yang menakjubkan. Dikatakan menakjubkan karena para penyebar islam yang merupakan guru-guru rohani dan tokoh sufi yang dikenal dengan sebutan wali songo itu mampu memformulasikan nilai-nilai sosiokultural-religius yang dianut masyarakat syiwa-buddha dengan nilai-nilai islam, terutama dalam memformulasi nilai-nilai tauhid syiwa-buddha ( adwayasashtra) dengan ajaran tauhid islam yang dianut para guru sufi.
            Dengan kewaskitaan seorang arif yang sudah tercerahkan, para guru sufi mengambil alih sistem pendidikan syiwa-buddha yang disebut “dukuh”, yaitu pertapaan untuk mendidik calon pendeta yang disebut wiku. Naskah-naskah kuno berbahasa kawi yang berjudul silakrama, tinghaking wiku, dan wratisasana yang berasal dari era majapahit, yang memuat tata krama yang mengatur para siswa di sebuah dukuh dalam menuntut pengetahuan, mengajarkan bahwa yang dinamakan gurubhakti adalah tata krama yang berisi tata tertib, sikap hormat, dan sujud bhakti yang wajib dilakukan para siswa kepada guru rohaninya.para siswa, dalam tatakrama itu, misal tidak boleh duduk berhadapan dengan guru, tidak boleh memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang diucapkan guru, mengindahkan nasihat guru meski dalam keadaan marah, berkata-kata yang menyenangkan guru, jika guru datang harus turun dari tempat duduknya, jika guru berjalan mengikuti dari belakang, dan sebagainya. Ketundukan siswa kepada guru adalah mutlak.
gagasan guru bhakti dalam silakarma mencakup tiga guru (triguru), yaitu orang tua yang melahirkan (guru rupaka) guru yang mengajarkan pengetahuan rohani (guru pengajian), dan raja (guru wisesa). Gagasan triguru ini, sampai sekarang masih bisa kita temukan dalam masyarakat muslim Madura yang mengenal konsep (bapa-babu-guru-ratu). Yang paling beroleh penghormatan dari ketiga guru itu adalah guru pengajyan, karena guru pengajyan telah membukakan kesadaran kedua untuk mengenal kehidupan di dunia dan akhirat hingga mencapai moksha. Khusus untuk guru pengajyan di dukuh-dukuh yang mengajarkan laku spiritual dan berhak melakukan diksha(baiat) disebut dengan gelar “susuhunan”.demikianlah, guru-guru sufi pada masa silam mendapatkan gelar susuhunan ; dukuh kemudian di sebut pesantren tempat para santri belajar dimana kata santri sendiri adalah adaptasi dari istilah sashtri yan bermakna orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra) sebagaimana dikemukakan C.C. berg (dalam Gibb, 1932:257); sementara tata krama dalam menuntut pengetahuan (gurubhakti) mirip dengan aturan-aturan yang terdapat dalam kitab ta’limul muta’alim, karya syaikh az-zarnuji.
            Selain gurubhakti, seorang siswa dalam menuntut pengetahuan diwajibkan menjalankan ajaran yamabrata, yakni ajaran yang mengatur tata cara pengendalian diri, yang maliputi prinsip hidup yang disebut ahimsa(tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak membunuh), menjauhi siat krodha (marah), moha (gelap pikiran ) mana, (angkara murka) mada (takabbur ), matsarya ( iri dan dengki), dan raga (mengumbar nafsu). Di dalam naskah wratisasana disebutkan lima macam yamabrata yang mencakup ahimsa, brahmacari, satya, aharalaghawa, dan asetya. Meski prinsip ahimsa dimaknai tidak menyakiti dan tidak membunuh dan seorang wiku harus memiliki sifat kasih saying terhadap semua makhluk, tetapi ditegaskan seorang wiku (siswa rohani) boleh melakukan himsakarma (qishash), yaitu membunuh atau menyakiti orang jahat yang berlaku kejam terhadap dirinya dalam usaha bela diri. Namun, himsakarma tidak boleh dilakukan terhadap penjahat yang sudah tertangkap dan tidak berdaya. Wiku yang disiksa, ditindas, dianiyaya, dipukuli, di caci-maki, harus membalasnya secara setimpal.
            Seorang wiku diharuskan bersifat satya yaitu jujur, tidak bicara kotor, (wakparusya), ucapannya tidak menyakitkan hati, tidak memaki, tidak menggerutu, tidak menyumpahi, dan tidak berdusta (ujarmadwa). Satya juga bermakna taat dan setia melakukan brata yang terkait dengan makanan, minuman, tata cara berpakaian, tempat tinggal, hingga perhiasan, yang disebut sebagai styabrata. Di antara isi satyabrata yang sangat mirip syariat islam adalah yang menyangkut halal dan haramnya makanan (tan bhaksanan) dan minuman (apeya-peya). Seorang wiku diharamkan memakan daging babi peliharaan (celengwanwa), anjing (swana), landak biawak, kura-kura(kurma), badak(warak), kucing (kuwuk), tikus(tekes), ula(sarpa) macan (rimong,sardhula), kukur(ruti), kalajengking (teledu), kera(were), rase, tupai(wut), katak (wiyung, kadal (dingdang kadal), hewan melata, burung buas(krurapaksi), burung gagak (nilapaksi), lalat(laler), kepinding (tinggi), kutu(tuma), ulat atau cacing tanah ( bhuhkrimi), dan sebagainya. Seorang wiku juga tidak boleh memakan makanan yang tidak suci (camah) atau yang menjijikkan dan yang diragukan kesuciannya. Selain makanan, seorang wiku juga wajib menghindari minuman keras yang memabukkan seperti arak, nira, anggur, brem, dan ciu. Demikianlah, ajaran yamabrata ini sampai sekarang dapat kita saksikan dalam kehidupan para santri di pesantren meski para santri bukanlah calon pendeta.
Ajaran niyamabrata tak jauh beda dengan yamabrata, yaitu pengendalian diri. Tetapi niyamabrata memiliki  makna tingkat lebih lanjut. Silakrama menyebut, niyamabrata, bukan saja melarang wiku marah tetapi sudah pada tingkat lebih lanjut. Silakrama menyebut, niyamabrata bukan saja melarang wiku marah tetapi sudah pada tingkat tidak suka marah (akrodha). Secara rohani, siswa selalu ingin berhubungan dengan guru (guru susrusa), memohon kebersihan batin (sausarcara), mandi tiap hari menyucikan diri (madyus accudha sarira), bersembayang menyembah syiwaditya, melatih menyemayamkan tuhan di dalam hati ( maglar sanghyang anusthana), berdoa (majapa), dan mahoma. Di dalam ajaran tasawu, yamabrata dan niyamabrata dapat dibandingkan dengan takhalli (usaha membersihkan diri dari nafsu-nafsu rendah-pen ) dan tahalli (menghiasi diri dengan sifat-siat illahi-pen) sehingga seorang penempuh jalan rhani mencapai tajalli (penyingkapan diri-pen) yakni beroleh pencerahan mengetahui kebenaran sejati. Demikianlah, ajaran tasawuf dapatb diterima masyarakat karena ada anggapan umum bahwa pengetahuan islam tidak berbeda dengan syiwa-buddha.
            Ajaran alaralaghawa adalah bagian dari niyamabrata yang bermakna tidak berlebihan. Ini dalam konsep jawa disebut madya-ora ngoyo lan ora ngongso- tidak berlebihan dan tidak melampaui batas (di dalam islam islam disebut wasathan). Alaralaghawa, lebih dimaknai makan tidak berlebihan (tidak makan jika tidak lapar dan makan pun tidak boleh kenyang), memekan makanan suci, membatasi makan daging(bhogasarwamangsa), bersyukur dengan makanan yang dimakan (santosa), tdak rakus (wubhukash), dan tidak malas dalam menjalankan kewajiban (apramada).
            Bagian akhir sesudah aharalaghawa adalah asetya, yaitu tidk mengikuti hasrat hati untuk memiliki orang lain, bahkan terhadap hak binatang sekalipun. Selakrama menyebut, jika seorang wiku mengambil milik orang lain tanpa izin (panolong-nolongan), mencuri (malinga), mengutil(angutil), manadahi hasil kejahatan(anumpu), merampok (ambegal), melakukan tindak criminal(corah), merampas (angalap), berkawan dengan pencuri( amitra maling), meminjam tidak mengembalikan (anelang drewyaning sanak tan pangulihaken), utang-piutang dengan bunga(rnarni), berjudi(ajudi), dan perbuatan nista lan. Maka ia kan jatuh martabat dan kehormatannya(panten). Wiku yang dinilai panten akan dikucilkan, tidak boleh dilihat (tan wenang tinghalana) dan tidak boleh diajak bicara ( sabhasanen).
G.    Islamisasi Niali-Nilai Seni Budaya Nusantara
Dr. Th.G.Th. Pigeaud dalam javansche volksvertoningen (1938) mengemukakan bahwa wayang kulit yang dikenal sebagaimana sekarang ini adalah produk yang dihasilkan oleh wali-wali penyebar islam. Menurut soekmono (1959) yang menjadi dasar dan pokok kebudayaan Indonesia zaman madya adalah kebudayaan purba (Indonesia asli), tetapi telah diislamkan.yang dimaksud kebudayaan purba dalam konteks itu adalah kebudayaan malaiopolinesia pra-hindu yang oleh prof. Dr. C.C. Berg (1938) dan prof. Dr. G,J.Held (1950) disebut animism dan dinamisme, yaitu kebudayaan yang dari kepercayaan terhadap bend-benda yang dianggap memiliki “daya sakti” dan kepercayaan terhadap arwah; sejatinya, yang dimaksud animism-dinamisme itu adalah ajaran kapitayan-pen. Proses islamisasi kebudayaan purba sebagaimana ditengarai Soekmono adalah bukti asimilasi yang dilakukan para penyebar islam generasi wali songo.
Bukti asimilasi lain dalam usaha mengislamkan anasir hindhu, adalah mengubah dan sekaligus menyesuaikan epos Ramayana dan Mahabharata yang sangat digemari masyarakat dewasa itu dengan ajaran islam. Anasir hindu yang di anggap penting untuk diislamkan adalah pakem cerita wayang yang didasarkan pada cerita  Ramayana dan Mahabharata. Dalam proses tersebut terjadi :de-dewanisasi” menuju “humanisasi” demi tumbuhnya tauhid. Dalam usaha mengislamkan pakem cerita Ramayana dan Mahabharata itu di buat cerita yang di sesuaikan dengan niali-nilai yang isami. Usaha “dewanisasi” yang dilakukan dalam pengislaman epos Ramayana dan mahabaratha, tercermin pada  munculnya cerita-cerita yang berkait dengan kelemahan dan kekurangan dewa-dewa sebagai sembahan manusia. Saah satu dari contoh kasus ini adalah timbulnya cerita Hyang Manikmaya (betara guru) dan Hyang Ismaya(semar). Kisah Manikmaya dan Ismaya itu secara singkat adalah sebagai berikut.
Dikisahkan sewaktu bumi masih awang-uwung, yang ada hanyalah Hyang tunggal yang abstrak dan tak bisa digmbarkan wujudnya. Hyang Tunggal kemudian mencipta cahaya. Cahaya itu ada yang berkilau-kilau da nada yang kehitaman. Yang berkilauan disebut Manikmaya dan yanag kehitaman disebut Ismaya. Kedua cahaya itu berebut status tentang siapa diantara mereka yang tertua. Tetapi, Ismaya digambarkan tidak dapat menjadi dewa dan dititahkan turun ke dunia sebagai manusia untuk mengasuh turunan dewa yang berdarah pandawa. Sehingga turunlah Ismaya ke dunia dengan wujujud jelek dengan nama Semar. Manikmaya yang berkilauan diangkat menjadi dewa di kahyangan. Tetapi, ia menjadi congkak dan menganggap diri sebagai dewa yang berkuasa dan tek bercacat. Oleh sebab itu, manikmaya diberi cacat dan kesaktianya dapat diatasi oleh kebijaksanaan semar (harjawirogo 1952). Dengan kisang hyung manikmaya ini jelaslah bahwa akidah islam mulai terlihat dengan munculnya Hyang/tunggal yang maha esa dan tak bisa di gambarkan wujudnya, yakni Hyang tunggal yang menciptakan dewa-dewa manusia.
Tidak cukup menggambarkan kelemahan dewa-dewa, para penyebar islam menyusun datar silsilah dewa-dewa yang berasal dari galur keturunan nabi adam dan ibu hawa. Kisah-kisah abad ke-16 yang dicatat dalam kitab paramayoga dan pustakaraja purwa tentang silsilah dewa-dewa adalah sebagai berikut.
1.      Nabi Adam, 2. Nabi Syis, 3. Anwas Dan Anwar, 4. Hyang Nur Rasa, 5. Hyang Wenag A, 6. Hyang Tunggal, 7. Hyang Ismaya, 8. Wungkuhan, 9. Smarasanta (Semar).

BAB V
PENUTUP
Analisis kritis islam nusantara adalah Islam Nusantara yang belum jelas ini justru bisa membuat orang-orang yang bingung berpaling ke radikalisme, karena bisa jadi radikalisme lebih jelas konsepnya.” – Begitulah kata Mas Binhad Nurohmat dalam akun facebook-nya.
Islam nusantara menurut ketum PBNU Prof KH Said Aqil Siraj adalah “Gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air”. Ini bukan barang baru di Indonesia. Sebagaimana diberitakan Republika, beliau mengatakan, konsep Islam Nusantara menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah. Seringkali konsep Islam nusantara dinisbatkan kepada Walisongo. Konon menurut catatan sejarah yang diyakini kalangan NU termasuk dalam hal ini ayah saya, para wali tersebut melakukan Islamisasi dengan pendekatan budaya. Tradisi Slametan, Kupatan dan sejenisnya merupakan kreasi para wali, khususnya Sunan berdarah Jawa seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Islam di Indonesia (Asia Tenggara) meruopakansalah satu dari tujuh cabang peradaban Islam (sesudah hancurnya persatuan peadaban islam yang berpusat di Bagdad Tahun 1258 M). Ketujuh cabang tersebut secra lengkap adlahperadaban islam arab, islam persi, islam turki, islam afrika hitam, islam anak benua india, islam arab melayu, dan islam cina.
Konversi massal masyarakat nusantara kepada islam pada mas aperdagangan terjadi karena beberapa sebab sebgai berikut:
a.       Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan islam.
b.      Asosiasi islam dengan kekayaan.
c.       Kejayaan militer.
d.      Memperkenalkan tulisan.

e.       Mengajarkan hafalan.
f.       Kepandaian dalam penyembahan.
g.       Pengajaran tentang moral.
Melalui sebab-sebab itu islam cepat mendapatkan pengikut yang banyak. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa [edagang Muslim asal arab,persi india dipekirakan telah sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 (ke-1 H), ketika islam di Timur tengah mulai berkembang ke luar dari Jazirah arab.







DAFTAR PUSTAKA
          Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Gramedia

Agus Sunyto di buku Atlas Wali Songo. Dipetik I 1, Juni 2012, Dipetik VI, November 2014.
Santri Pondok Pesantren Ngalah di Ensiklpedi Fiqih Jawabul Masail.
http://www.mustanir.com/2015/05/20/kritis-terhadap-islam-nusantara/
http://www.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2015/05/26/70345/islam-nusantara-islamisasi-nusantara-atau-menusantarakan-islam-2.html


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH